Senin, 18 Oktober 2010

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam hal ini guru tidak semata-mata sebagai “pengajar” yang mentrasfer of knowledge, tetapi juga sebagi “pendidik” yang mentransfer of values dan sekaligus sebagai “pembimbing” yang memberikan pengaruh dan menuntun siswa dalam belajar. Berkaitan dengan ini maka sebenarnya guru mempunyai peranan yang unik dan sangat kompleks dalam proses belajar-mengajar, dalam usahanya untuk mengantarkan siswa atau anak didik ke taraf yang dicita-citakan, oleh karena setiap rencana guru harus dapat didudukan dan dibenarkan semata-mata demi kepentingan anak didik, sesuai dengan profesi dan tanggung jawabnya.

BAB II

PEMBAHASAN

PERANAN GURU AGAMA ISLAM DALAM MEMOTIVASI BELAJAR SISWA

A. GURU AGAMA

1. Kedudukan Guru Agama

Secara keseluruhan guru adalah figur yang menarik perhatian semua orang. Sebagai pribadi yang ditiru, tidaklah berlebihan bila anak didik selalu mengharapkan figur guru yang senantiasa memperlihatkan kepentingan anak didik dan biasanya mendapatkan ekstra perhatian dari anak didik. Anak didik yang senang dengan sikap dan perilaku yang baik dan yang diperhatikan oleh guru.[1]

Posisi guru agama pada lingkungan sekolah saat ini masih menyisakan sejumlah persoalan yang patut menjadi perhatian serius dari semua pihak. Sejumlah persoalan tersebut antara lain:[2]

Ø Rendahnya apresiasi guru pendidikan agama Islam sebagai akibat pendidikan agama Islam yang merupakan mata pelajaran wajib hanya dipandang sebagai pelengkap, karena sekolah dan orang tua lebih mengutamakan pelajaran yang diujikan saja. Hal ini sangat dominan pada sekolah-sekolah umum seperti sekolah dasar dan menengah, akibatnya penerapan nilai-nilai agama melalui pendidikan agama Islam tidak dapat berjalan dengan baik.

Ø Kurangnya sikap profesional tugas guru pendidikan agama Islam yang ditandai dengan kurangnya kemampuan dalam memproses pembelajaran ini meliputi penyampaian bahan pelajaran kepada siswa, metode yang digunakan, dan persiapan mengajar.

Ø Kurangnya pengakuan terhadap guru pendidikan agama Islam. Hal ini ditandai dengan kurangnya penghargaan atas kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa di sekolah.

2. Profesionalisme Guru Agama

Professional berasal dari kata profesi (profession) yang dapat diartikan sebagai jenis pekerjaan yang khas atau pekerjaan yang memerlukan pengetahuan atau dapat juga berarti beberapa keahlian atau ilmu pengetahuan yang digunakan dalam aplikasi yang berhubungan dengan orang lain, instalasi, atau sebuah lembaga. Profesional adalah seseorang yang memiliki seperangkat pengetahuan atau keahlian yang khas dari profesinya.[3]

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah profesionalisasi ditemukan sebagai berikut:

Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kegunaan, dan sebagainya) tertentu. Profesional adalah (1) bersangkutan dengan profesi, (2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, dan (3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.[4]

Mengenal karateristik profesional, Mukhtar M.Pd menerangkan sebagai berikut:

Bahwa ada lima karaterisik profesional yaitu: pertama, mempunyai seperangkat basis teoritis dari keilmuannya itu sehingga dia dapat meningkatkan keahliannya melalui suatu proses training untuk meningkatkan kecakapan profesionalitas, terakreditasi dikenal publik dengan otoritas keilmuannya. Kedua, sebuah keilmuan yang dia tekuni dapat diwujudkan menjadi jaminan atas pekerjaan dan profesi. Ketiga, punya sanksi komunitas. Keempat, punya kode etik. Kelima, dia hidup dari keahlian atau profesinya. Karateristik lain adalah kemauan atas belajar, mengaplikasikan teori, memiliki otonomi, serta perhatian terhadap nilai-nilai khusus dan etika.[5]

Untuk memperjelas profesionalisme keguruan dapat diidentifikasi dari beberapa kompetensi di bawah ini:

a. Kompetensi bidang keilmuan

Penguasaan yang mengarah kepada spesialisasi atas ilmu atau kecakapan / pengetahuan yang diajarkan. Penguasaan yang meliputi bidang studi sesuai dengan kurikulum dan bahan pendalaman aplikasi bidang studi. Kesemua ini amat perlu dibina karena selalu dibutuhkannya dalam:[6]

v Menguraikan ilmu pengetahuan atau kecakapan dan apa-apa yang harus diajarkannya kedalam bentuk komponen-komponen dan informasi-informasi yang sebenarnya dalam bidang ilmu dan kecakapan yang bersangkutan.

v Menyusun komponen-komponen dan informasi-informasi itu sedemikian rupa baiknya sehingga akan memudahkan murid untuk mempelajari pelajaran yang diterimanya.

b. Kompetensi metodologis mengajar

Metode mengajar adalah sistem penggunaan di dalam interaksi dan komunikasi antara guru dan murid dalam program belajar-mengajar sebagai proses pendidikan. Metode mengajar mempunyai dua aspek, yaitu:[7]

v Aspek Ideal : Secara ideal harus diingat bahwa program belajar-mengajar adalah sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Yang menjadi pedoman utama adalah : bagaimana mengusahakan agar tercapai perkembangan peserta didik secara optimal. Dan ini harus tertanam dalam sikap dasar guru agama, yang diwujudkan dalam pendekatan guru terhadap peserta didik sesuai dengan tahap perkembangannya.

v Aspek Teknis : Terdapat bermacam-macam teknik yang dapat digunakan dalam interaksi dan komunikasi itu, antara lain : bermain, tanya jawab, ceramah, diskusi, peragaan, eksperimen, kerja kelompok, karya drama, dan modul.

c. Kompetensi Kepribadian

Mengenal kepribadian pendidik, Ngalim Perwanto menerangkan bahwa kepribadian pendidik adalah pendidik yang telah memiliki dan menentukan tujuan hidupnya sendiri dan telah memiliki (mempersatukan diri) dengan norma-norma tertentu.[8]

Sedangkan menurut D. Marimba, kepribadian itu memiliki arti luas yakni meliputi kualitet, keseluruhan dari seseorang, kualitet itu akan tampak dalam ciri-cirinya berbuat, berfikir, mengeluarkan pendapat, sikap, minat, filsafat hidup, dan kepercayaan.[9]

Sedangkan Zakiyah Dradjat mengenal kepribadian guru menjelaskan bahwa faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya. Kepribadian inilah yang membedakan apakah ia menjadi pendidik atau pembina yang baik anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan anak didik yang sedang mengalami kegoncangan jiwa.[10]

3. Tugas Guru Agama

Dalam proses belajar-mengajar, guru mempunyai tugas mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu proses perkembangan siswa. Penyampaian materi pelajaran hanyalah merupakan salah satu dari berbagai kegiatan dalam belajar sebagai suatu proses yang dinamis dalam segala fase dan proses perkembangan siswa. Secara lebih terperinci tugas guru pada :[11]

v Mendidik dengan titik berat memberikan arah dan motivasi pencapaian tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang.

v Memberikan fasilitas pencapaian tujuan melalui pengalaman belajar yang memadai.

v Membantu perkembangan aspek-aspek pribadi, seperti sikap, nilai-nilai, dan penyesuaian diri.

Menurut Zakiyah Dradjat bahwa jabatan guru agama adalah berat kerena tugas guru agama tidak hanya melaksanakan pendidikan agama secara baik, akan tetapi guru agama juga harus dapat memperbaiki pendidikan agama yang telah terlanjur salah diterima anak, baik dalam keluarga, maupun masyarakat sekitarnya, serta melakukan pembinaan kembali terhadap pribadi anak.[12]

Tugas guru meliputi, pertama, tugas guru sebagai pengajar, kedua, tugas guru sebagai pembimbing, ketiga, tugas administrasi dan pemimpin (manager kelas).

Ketiga tugas ini dilaksanakan sejalan secara seimbang dan serasi. Tidak boleh satupun yang terabaikan, karena semua fungsional dan saling berkaitan dalam menuju keberhasilan pendidikan sebagai suatu keseluruhan yang tidak terpisahkan.

Mengenai fungsi guru, Sudirman A.M menerangkan sebagai berikut :[13]

Guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pembimbing, minimal ada dua fungsi, yakni fungsi moral dan fungsi kedinasan. Tinjauan secara umum, guru dengan segala peranannya akan kelihatan lebih menonjol fungsi moralnya, sebab walaupun dalam situasi kedinasan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pembimbing juga diwarnai oleh fungsi moral itu, yakni dengan wujud bekerja dengan sukarela, tanpa pamrih dan semata-mata,demi panggilan hati nurani.

Sekurang-kurangnya yang dipelihara oleh guru agama secara terus-menerus, ialah : suasana kegamaan, kerja sama, rasa persatuan, perasaan puas pada murid terhadap pekerjaan dan kelasnya. Dengan terjadinya pengelolaan yang baik, maka guru agama akan lebih mudah mempengaruhi murid di kelasnya dalam rangka pendidikan dan pengajaran agama Islam khususnya.[14]

B. MOTIVASI

1. Pengertian dan Macam-Macam Motivasi

a. Pengertian Motivasi

Kata “motif”, diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seeorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di luar subyek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiap-siagaan). Berawal dari kata “motif” itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif ini menjadi pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan sangat / mendesak.[15]

Motiviasi dapat juga diartikan segala sesuatu yang menjadi pendorong tingkah laku yang menuntut / mendorong orang untuk memenuhi suatu kebutuhan. Dan sesuatu yang dijadikan motivasi itu merupakan keputuasan yang telah ditetapkan individu sebagai suatu kebutuhan / tujuan yang nyata ingin dicapai.[16]

Persoalan motivasi seperti ini dapat dikaitkan dengan persoalan minat. Karena seseorang yang memiliki minat yang tinggi untuk mempelajari suatu mata pelajaran, maka ia akan mempelajarinya dalam jangka waktu tertentu. Seseorang itu boleh dikatakan memiliki motivasi untuk belajar. Motivasi itu muncul karena ia membutuhkan sesuatu dari apa yang dipelajarinya. Motivasi memang berhubungan dengan kebutuhan seseorang yang memunculkan kesadaran untuk melakukan aktivitas belajar. Oleh karena itu, minat adalah kesadaran seseorang akan suatu obyek, misalnya seseorang, suatu soal atau situasi ada sangkut paut dengan dirinya.

Sebagaimana telah dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah dari Maslow menjelaskan bahwa tingkah laku manusia dibangkitkan dan diarahkan oleh kebutuhan tertentu, sebagai kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa cinta, penghargaan aktualisasi diri, mengetahui dan mengerti, dan kebutuhan estetik.[17]

b. Macam-Macam motivasi

Dalam membicarakan macam-macam motivasi, hanya dibahas dari dua sudut pandang, yakni motivasi yang berasal dari dalam diri pribadi seseorang yang disebut “motivasi intriksik” dan motivasi yang berasal dari luar diri seseorang “motivasi ekstrinsik”.

v Motivasi Intrinsik

Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh seseorang yang senang membaca, tidak perlu ada yang menyuruh atau mendorongnya, ia sudah rajin memcari buku-buku untuk dibacanya.

Menurut Sardiman A.M bahwa siswa yang memilki motivasi dengan sendirinya dia akan memiliki tujuan menjadi orang yang terdidik, yang berpengetahuan, yang ahli dalam bidang studi tertentu. Satu-satunya jalan menuju ke tujuan yang ingin dicapai adalah belajar, tanpa belajar tidak mungkin mendapat pengetahuan, tidak mungkin menjadi ahli. Dorongan yang menggerakkan itu bersumber pada suatu kebutuhan, kebutuhan yang berisikan keharusan untuk menjadi orang yang terdidik dan berpengetahuan. Jadi motivasi itu muncul dari kesadaran diri sendiri dengan tujuan secara esensial, bukan sekedar simbol dan seremonial.[18]

v Motivasi Ektrinsik

Motivasi ektrinsik adalah kebalikan dari motivasi intrinsik. Motivasi ektrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar. Motivasi belajar dikatakan ekstrinsik bila anak didik menempatkan tujuan belajarnya diluar faktor-faktor situasi belajar. Anak didik belajar karena hendak mencapai tujuan yang terletak diluar hal yang dipelajarinya.

Menurut kutipan Ivor K. Davies dan Maslow, bahwa motivasi ektrinsik mengacu kepada faktor-faktor dari luar, dan ditetapkan pada tugas siswa oleh guru atau orang lain. Motivasi ektrinsik bias berupa penghargaan, pujian, hukuman, atau celaan.[19]

2. Peran Guru dalam Memotivasi Belajar

Mengingat demikian penting motivasi bagi siswa dalam belajar. Maka guru diharapkan dapat membangkitkan motivasi belajar siswa-siswanya. Dalam usaha ini banyak cara yang banyak dilakukan. Sehubungan dengan pemeliharaan dan peningkatan motivasi siswa menurut kutipan Selameto dari DeCecco dan Gow Ford (1974) mengajukan empat fungsi belajar:

v Menggairahkan Siswa

Dalam kegiatan rutin di kelas sehari-hari pengajar berusaha menghindari hal-hal yang monoton dan membosankan. Guru selalu memberikan pada siswa cukup banyak hal-hal yang perlu dipikirkan dan dilakukan. Guru harus memelihara minat siswa dalam belajar, yaitu dengan memberikan kebebasan tertentu untuk berpindah dari satu aspek ke lain aspek pelajaran dalam situasi belajar.[20]

v Memberikan harapan realistis

Guru memelihara harapan-harapan siswa yang realistis, dan memodifikasikan harapan-harapan yang kurang atau tidak realistis. Untuk ini guru perlu memiliki pengetahuan yang cukup mengenai keberhasilan dan kegagalan akademis siswa pada masa lalu, dengan demikian pengajar bisa membedakan antara harapan-harapan yang realistis, pesimistis, atau terlalu optimis. Bila siswa telah banyak mengalami kegagalan, maka guru harus memberikan sebanyak mungkin keberhasilan pada siswa.[21]

v Memberikan insentif

Bila siswa mengalami keberhasilan, pengajar diharapkan memberikan hadiah kepada siswa (dapat berupa pujian angka yang baik, dan lain sebagainya) atas keberhasilannya, sehingga siswa terdorong untuk melakukan usaha lebih lanjut guna mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Sehubungan dengan hal ini umpan balik merupakan hal yang sangat berguna untuk meningkatkan usaha siswa.[22]

v Mengarahkan

Pengajar harus mengarahkan tingkah laku siswa dengan memberikan teguran, nasehat, dan bimbingan serta guru melakukan pendekatan secara individual atau kelompok.

Salah satu yang mampu memberikan motivasi adalah antusiasme, berarti guru peduli terhadap apa yang mereka ajarkan dan mengomunikasikan kepada murid-muridnya, bahwa apa yang mereka ajarkan adalah penting. Dan sikap semangat ini terpancar dalam sikap guru terhadap siswanya.

Beberapa kualitas guru yang efektif dalam memotivasi :[23]

v Guru merupakan para manager yang baik.

v Guru menginginkan siswa menjadi pelajar yang sukses.

v Guru mempresentasikan materi kepada siswa yang memiliki kemampuan untuk mempelajarinya.

v Guru memberikan feetback yang merupakan koreksi kepada siswa.

v Guru memnberikan tes-tes yang adil,

v Guru memberikan penilaian informatif.

v Guru memberikan tantangan dan stimulan.

v Guru membantu siswa dalam menyadari perkembangan kecakapan dan kecakapan keahlianya.

v Guru memiliki empati.

v Guru menghargai ilmu pengetahuan lebih dari sekedar nilai.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Ì Secara keseluruhan guru adalah figur yang menarik perhatian semua orang.

Ì Sejumlah persoalan, antara lain:

Ø Rendahnya apresiasi guru pendidikan agama Islam sebagai akibat pendidikan agama Islam yang merupakan mata pelajaran wajib hanya dipandang sebagai pelengkap, karena sekolah dan orang tua lebih mengutamakan pelajaran yang diujikan saja.

Ø Kurangnya sikap profesional tugas guru pendidikan agama Islam yang ditandai dengan kurangnya kemampuan dalam memproses pembelajaran ini meliputi penyampaian bahan pelajaran kepada siswa, metode yang digunakan, dan persiapan mengajar.

Ø Kurangnya pengakuan terhadap guru pendidikan agama Islam. Hal ini ditandai dengan kurangnya penghargaan atas kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa di sekolah.

Ì Profesional adalah seseorang yang memiliki seperangkat pengetahuan atau keahlian yang khas dari profesinya.

Ì Kata “motif”, diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seeorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di luar subyek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan.

Ì Macam-macam motivasi, yaitu:

v Motivasi Ektrinsik

v Motivasi Intrinsik

Ì Peran guru dalam memotivasi siswa belajar, antara lain:

v Menggairahkan siswa

v Memberikan harapan realistis

v Memberikan intensif

v Mengarahkan

DAFTAR PUSTAKA

Devies, Ivor K. Pengelolaan Belajar. Jakarta : Rajawali. 1991. Cet. ke-2

Djamarah, Syamarah Bahri. Psikologi Belajar, Jakarta : PT. Rineka Cipta. 2002. Cet ke-1

Dradjat, Zakiah. et. al. Metode Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta : Bumi Aksara. 1995. Cet. ke-1

_______________. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : Bulan Bintang. 1993. Cet. ke-14

_______________. Kepribadian Guru. Jakarta : Bulan Bintang. 1980. Cet. ke-2

_______________. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta : Ruhama. 1995. Cet. ke-2

Marimba, Ahmad. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Al-Ma’rif. 1997

Mukhtar. Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta : CV. Misaka Galiza. Anggota IKAPI. 2003. Cet ke-1

Nurdin, H. Syafrudin dan M. Basyirudin Usman. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Jakarta : Ciputat Press. 2003. Cet. ke-2

Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2000. Cet ke-12

Sabri, M. Alisuf. Pengantar Psikologi dan Perkembangan. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya. 1993. Cet. ke-1

_____________. Psikologi Pendidikan. Jakarta ; Pedoman Ilmu Jaya. 1996. Cet. ke-6

Sudirman A.M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2003. Cet. ke- 10

Slameto. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta. 2003. Cet. ke-4

Wlodkowski, Raymond J & Judith H. Jayrus. Motivasi Belajar. Jakarta : Cerdas Pustaka. 2004. Cet. ke-1



[1] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), hal. 71

[2] Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: CV. Misaka Galiza, 2003), hal. 87

[3] Ibid. hal.79

[4] Syarifuddin Nurdin, M. Basyirudin Usman, Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hal. 15

[5] Mukhtar, Op.cit, hal.82

[6] Zakiyah Drajat, Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Akasara, 1995), hal.263

[7] Zakiyah Drajat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), hal.97

[8] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hal.19

[9] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Al-Ma’arif, 1997), hal.67

[10] Zakiyah Dradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal.16

[11] Slameto, Belajar dan Faktor-Faktoor yang mempengaruhinya, (Jakarta: PT. Rineke Cipta, 2003), hal.97

[12] Zakiyah Dradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Buka Bintang, 1993), hal.108

[13] Sudirman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal.125

[14] Ibid, hal.73

[15] Ibid, hal.73

[16] M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pediman Ilmu Jaya, 1993), hal.129

[17] Syaiful Bahri Djamarah, Op.cit, hal.115

[18] Sardiman, Op.cit, hal. 89-90

[19] Ivor K. Davies, Pengelolaan Belajar,, (Jakarta: Rajawali, 1991), hal. 215

[20] Slameto, op.cit., hal. 175

[21] Syaiful Bahri Djamarah, op.cit, 144

[22] Slameto, op.cit, hal. 144

[23] Raymond J.Wlodkowski & Judith H. Jayrus, Motivasi Belajar, (Jakarta: Cerdas Pustaka, 2004), hal. 25-26